PERISTIWA PERANG BADAR
Ketika Rasullulah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan pasukannya sampai di dekat Safra` (suatu daerah di dekat Badar); beliau
mengutus Basbas dan Ady bin Abi Zaghba` ke Badar. Keduanya disuruh mencari
informasi tentang Abu Sufyan dan rombongan dagangnya.[1] Dalam riwayat lainnya
disebutkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar
Radhiyallahu anhu juga keluar untuk tujuan ini. Keduanya bertemu dengan
seseorang yang sudah tua. Rasulullah bertanya kepadanya tentang pasukan
Quraisy. Orang tua itu mau menjawab asalkan mereka berdua memberitahu dari mana
asal mereka ? Keduanya setuju. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memintanya agar bercerita lebih dahulu. Orang itu menjelaskan bahwa ia mendengar
berita tentang Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya telah
berangkat pada hari ini dan ini. Jika si pembawa berita itu benar, berarti
mereka sekarang sudah sampai di tempat ini dan ini. Dan jika si pembawa berita
tentang pasukan Quraisy juga jujur, berarti mereka sekarang berada di tempat
ini dan ini.
Setelah menyelesaikan ceritanya, orang itu
bertanya: “Dari mana kalian berdua ?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kami berasal dari air”. Kemudian keduanya meninggalkan orang tua itu yang masih bertanya : “Dari air ? Apakah dari air Irak ?”[2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kami berasal dari air”. Kemudian keduanya meninggalkan orang tua itu yang masih bertanya : “Dari air ? Apakah dari air Irak ?”[2]
Sore harinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutus Ali, Zubair, dan Sa`d Bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhum beserta
sekelompok Sahabat lainnya untuk mengumpulkan data-data tentang musuh. Di
sekitar sumur Badar, rombongan ini menemukan dua orang yang bertugas mengambil
air untuk pasukan Mekah. Mereka membawa dua orang ini ke Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang shalat. Lantas mereka mulai mengorek keterangan
dari keduanya. Dua orang ini mengakui bahwa mereka pemberi minum pada pasukan
Mekah. Namun, para Sahabat tidak mempercayai mereka. Para Sahabat mengira
keduanya adalah anak buah Abu Sufyan. Lalu mereka memukuli keduanya hingga mau
mengaku bahwa mereka anak buah Abu Sufyan.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
selesai shalat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan para
Sahabatnya, karena mereka telah memukul keduanya saat jujur dan membiarkan
mereka saat berdusta. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepada keduanya tentang posisi pasukan Mekah. Mereka menjawab: “Mereka
di belakang bukit di Udwatul Qushwa.”
Kemudian beliau bertanya tentang jumlah pasukan
Mekah. Akan tetapi, dua orang ini tidak bisa menyebutkan jumlah pastinya, namun
keduanya menyebutkan jumlah unta yang mereka sembelih setiap harinya, yaitu
antara 9 sampai 10. Dari sini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyimpulkan bahwa jumlah mereka antara 900 – 1000 pasukan. Dua orang ini juga
menyebutkan bahwa di antara pasukan itu ada beberapa tokoh Mekah. Dalam kitab
Rahîqul Makhtûm disebutkan, Beliau bertanya dua orang ini, “Siapa sajakah
pemuka Quraisy yang ikut?” Mereka menjawab, “Utbah dan Syaibah, keduanya anak
Rabî`ah, Abul Bakhtari bin Hisyâm, Hakim bin Hizâm, Naufal bin Khuwailid,
al-Hârits bin Amir, Thaîmah bin Adi, an-Nadhr bin Harits, Zam`ah bin al-Aswad,
Abu Jahl bin Hisyam, Umayah bin Khalaf dan lainnya.” Rasululllah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun berkata kepada para Sahabatnya: “Mekah telah mencampakkan
para tokohnya ke hadapan kalian.”[4] Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menunjukkan beberapa tempat yang akan menjadi tempat tewasnya beberapa tokoh
Quraisy.
Malam itu Allah Azza wa Jalla menurunkan hujan
untuk mensucikan kaum Muslimin dan meneguhkan telapak kaki mereka di atas bumi.
Allah Azza wa Jalla jadikan hujan tersebut sebagai bencana yang besar bagi kaum
Musyrikin.[5] Tentang ini Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ
عَلَىٰ قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الْأَقْدَامَ Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu) [al-Anfâl/8:11]
Di antara nikmat Allah Azza wa Jalla kepada kaum
Muslimin saat itu adalah Allah Azza wa Jalla menjadikan para Sahabat mengantuk
sebagai penenteram jiwa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa
pasukannya mendekati mata air Badar mendahului orang-orang Musyrik agar musuh
tidak bisa menguasai mata air. Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sudah menentukan satu posisi, al-Habâb bin Mundzir Radhiyallahu anhu
mengeluarkan pendapatnya, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
bagaimanakah pendapat anda tentang posisi ini ? Apakah posisi ini diwahyukan
oleh Allah Azza wa Jalla sehingga kita tidak boleh maju atau mundur ? Ataukah
ini hanya pendapat, siasat dan takti perang saja”? Beliau menjawab: “Ini hanya
pendapat, siasat dan taktik perang saja.” al-Habâb Radhiyallahu anhu mengatakan
: “Wahai Rasulullah, posisi ini kurang tepat, bawalah orang-orang ini ke sumur
yang paling dekat dengan posisi musuh. kita kuasai sumur itu lalu yang lainnya
kita rusak. Kita membuat telaga besar lalu kita penuhi air. Kemudian baru kita
perangi mereka, kita bisa minum sementara mereka tidak bisa.” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada al-Habâb Radhiyallahu anhu ,
“Engkau telah menyampaikan pendapat yang jitu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyetujuinya dan melakukannya.[6]
Ketika sudah menguasai tempat yang ditunjukkan
oleh al-Habbab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuatkan `arisy (tenda)
[7] oleh para Sahabat sebagai tempat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla dan memantau jalannya peperangan.
Dari beberapa nash tentang perang Badar dapat
dipahami bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut serta dalam
perang. Beliau tidak terus-menerus di dalam tendanya atau tidak terus-menerus
berdoa. Di antara kisah yang membuktikannya adalah ucapan Ali Radhiyallahu
anhu, “Aku memperhatikan diri kami pada saat Badar. Saat itu, kami berlindung
dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau adalah orang yang
paling dekat dengan musuh dan orang yang paling susah.”[8] Dalam riwayat lain
diceritakan, “Ketika peperangan sudah berkecamuk, kami berlindung dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau adalah orang yang paling
menderita. Tidak ada seorang pun yang lebih dekat posisinya dengan orang
Musyrik dibandingkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”
Di antara buktinya juga, sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya saat perang Badar, “Janganlah
sekali-kali ada salah seorang di antara kalian yang maju kepada sesuatu, sampai
aku berada di dekat sesuatu itu.”[9] Ibnu Katsîr [10] mengatakan, “Sungguh
beliau telah berperang dengan sungguh-sungguh. Demikian pula Abu Bakar
Radhiyallahu anhu. Sebagaimana keduanya berjihad di tenda dengan berdo’a,
mereka juga keluar, memberikan motivasi untuk berperang dan mereka juga ikut
berperang dengan fisik.”
Setelah melakukan semua persiapan fisik yang
memungkinan untuk mewujudkan kemenangan di lapangan, malam itu beliau
bertadarru` (memohon) kepada Allah Azza wa Jalla agar menolongnya. Di antara
doa yang beliau ucapkan adalah:
اللَّهُمَّ
أَنْجِزْ لِيْ مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِيْ اللَّهُمَّ إِنْ
تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الإِِسْلاَمِ لاَ تُعْبَدْ فِي الأَرْضِ
Ya Allah Azza wa Jalla , penuhilah
janji-Mu kepadaku. Ya Allah Azza wa Jalla berikanlah apa yang telah Engkau
janjikan kepadaku. Ya Allah Azza wa Jalla , jika Engkau membinasakan pasukan
Islam ini, maka tidak ada yang akan beribadah kepada-Mu di muka bumi ini. [HR.
Muslim 3/1384 hadits no 1763]
Dalam riwayat ini juga disebutkan bahwa beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus bermunajat kepada Rabbnya hingga selendang
beliau jatuh dari pundak. Abu Bakar Radhiyallahu anhu datang dan mengambil
selendang tersebut kemudian meletakkan kembali di pundak beliau. Abu Bakar
Radhiyallahu anhu berkata, “Wahai Nabi Allah Azza wa Jalla , sudah cukup engkau
bermunajat kepada Rabbmu dan Allah Azza wa Jalla pasti akan memenuhi
janji-Nya.” Kemudian turunlah firman Allah Azza wa Jalla :
إِذْ
تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ
الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ
“(Ingatlah), ketika kamu memohon
pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu : “Sesungguhnya aku
akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu Malaikat yang datang
berturut-turut”.[al-Anfâl/8:9]
Setelah itu Abu Bakar Radhiyallahu anhu memegang
tangan beliau dan berkata, “Cukup wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , engkau telah berkali-kali memohon kepada Rabbmu”. Kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera mengambil baju besi dan terjun ke medan
tempur seraya membaca firman Allah Azza wa Jalla :
سَيُهْزَمُ
الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ
“Golongan itu pasti akan dikalahkan
dan mereka akan mundur ke belakang”. [al-Qamar 54 : 45]
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa ketika ayat ini
turun, Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Golongan manakah yang akan dikalahkan?
Dan golongan apa yang akan dimenangkan?” Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu
melanjutkan, “Tatkala perang Badar aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menerjang musuh dengan baju besinya, seraya mengucapkan ayat ini.
Ketika itu tahulah aku maksud ayat ini.”
(Disadur dari as-Sîratun Nabawiyah Fî Dhau’il Mashâdiril Ashliyah, hal.
342-347)_______
Footnote
[1]. Disebutkan oleh Ibnu Hisyam-tanpa sanad- mungkin bagian dari hadits tentang perang badar yang shahîh- Ibnu Hisyâm 3/304
[2]. Diriwayatkan Ibnu Hisyâm dengan sanad yang terputus –Ibnu Hisyâm 2/306-307
[3]. Lihat kisahnya dalam Muslim 3/1404 hadits 1779.
[4]. Lihat ar-Rahîqul Makhtûm, hlm. 164
[5]. Lihatlah kabar tentang hujan ini dalam Ahmad 2/193 dan Ibnu Hisyâm 2/312
[6]. Disebutkan oleh Ibnu Hisyâm dengan sanad yang terputus-Ibnu Hisyâm 2/312-313 dan dengan sanad yang mursal mauquf pada Urwah sebagaimana dalam Ishâbah 1/302
[7]. Semacam kemah sebagai tempat untuk mengomando pasukan dan berteduh bagi panglima
[8]. Ahmad dalam Al-Musnad 2/63
[9]. HR. Muslim 3/1510 hadits no 1901. Pentahqiq kitab Jâmi’ul Ushûl (8/182) menyebutkan bahwa yang terdapatkan naskah aslinya : … sampai aku mengidzinkannya.” Sedangkan dalam naskah kitab Shahih Muslim yang dicetak : … sampai aku berada didekat sesuatu itu.”
[10]. Bidâyah Wan Nihâyah 3/306
Tidak ada komentar:
Posting Komentar